No comments yet

Kela Dai Bela Kopeang

Memasuki Bela Kopeang dari Ta’an, pada awalnya kita disuguhi sebuah pendakian bukit beraspal mulus. Selanjutnya adalah beberapa puluh meter jalan beton dua tapak untuk mobil. Namun, dalam hitungan menit perjalanan di atas aspal mulus dan beton dua tapak itu seketika berubah menjadi perjalanan di atas jalan tanah berbatu cadas dan berbahaya. Selamat datang, setelah aspal mulus dan beton dua tapak itu menghilang kita akan memulai sebuah perjalanan yang sungguh penuh resiko. Jurang yang dalamnya hingga ratusan meter siap melahap kendaraan yang tergelincir di beberapa titik perjalanan menuju Bela Kopeang. Saya memimpikan perjalanan ini sejak kurang lebih setahun yang lalu, saat seorang teman bercerita tentang Kopi yang kualitasnya luar biasa di Kopeang. Teman saya bertutur bahwa menuju Kopeang hanya bisa ditempuh dengan kuda atau sepeda motor trail, setidaknya sepeda motor dengan rakitan rantai besi yang dilekatkan ke rodanya. Saya berdoa semoga suatu saat saya berkesempatan mendatangi Desa Kopeang untuk melihat dari dekat kopi legendaris yang konon ditanam sejak zaman Belanda. Apakah di Kopeang ada Kopi legendaris itu? Nanti kita akan mengetahuinya.

Saya dan teman-teman IOF PENGCAB Mamuju di antaranya Om Hamka, Om Dandi, Om Dedi, dan Mandar Jeep Federation yang diwakili Om Sunci serta Beberapa Panitia Sharing Is Caring dari Komunitas Mamuju Mengajar menggunakan dua kendaraan Off-road Toyota Land Cruiser dan Jeep Cherokee 4,600 CC untuk survey jalur dan tempat kegiatan. Kami meninggalkan Desa Ta’an sekira pukul 10:00 WITA dan tiba di Desa Kopeang sekira pukul 16:00, dan langsung kembali lagi ke Kota sesaat setelah adzan maghrib berkumandang di Masjid Desa Kopeang dan tiba kembali di Mamuju sekira pukul 02:00 dini hari keesokan harinya. Perjalanan penuh resiko yang dilakukan pertama kali di jalur tersebut terbilang sukses karena semua gangguan yang dialami kendaraan berhasil diatasi oleh Om Sunci selalu mekanik dan Driver senior spesialis medan berbahaya wilayah Sulawesi Barat, semua sesuai dengan target waktu yang ditentukan sebelum perjalanan dimulai. Hasil dari survey menyimpulkan bahwa Warga dan Kepala Desa serta seluruh pihak terkait siap menyukseskan kegiatan Sharing Is Caring Komunitas Mamuju mengajar beberapa hari yang akan datang dan jalur menuju Bela Kopeang masih bisa dilalui dengan kendaraan Off Road.

Kurang lebih seminggu kemudian, sekitar lima puluhan relawan dan panitia serta IOF PENGCAB Mamuju, MJF POLMAN, dan Teman-teman MATREX MAMUJU, meninggalkan Kota Mamuju menuju Bela Kopeang sekira pukul 10:30 Wita. Kami beristirahat untuk menunaikan Ibadah Shalat Jum’at di salah satu Masjid di Jalan Trans Sulawesi di wilayah Desa Ta’an saat hujan mulai turun dan hampir membuat basah perlengkapan kegiatan SIC Bela Kopeang. Seusai menutup semua perlengkapan SIC Bela Kopeang yang diletakkan di atas atap kendaraan, kami bergegas mengikuti Ibadah Shalat Jumat. Sekira pukul 13:00 kami bergerak meninggalkan Desa Ta’an, berbelok kiri mengarah ke Bela Kopeang. Sekitar satu jam perjalanan, kami singgah di sebuah jalan rata yang dinaungi pohon kemiri dan pohon kakao untuk bersantap siang. Buras, Nasi Kuning, mangga mentah yang dibawa salah satu Panitia SIC Ramliah menjadi menu pertama di hari itu. Sekira 13 kendaraan roda empat terparkir rapi saat kami menuntaskan aktivitas santap siang hari itu, 22 November 2019. Waktu menunjukkan pukul 14:30 Wita saat kami meninggalkan lokasi istirahat pertama.

Perjalanan setelah makan siang adalah sebuah perjalanan yang memompa adrenalin seluruh driver kendaraan off road. Ketegangan tampak jelas di wajah para relawan di dalam kendaraan, bagaimana tidak, ini adalah kali pertama mereka melalui pendakian terjal dan penurunan curam berbatu besar sekaligus licin, salah bermanuver nyawa taruhannya.

Salah satu arahan dari Ketua IOF PENGCAB Mamuju adalah, jika ada kendaraan trouble maka kendaraan yang lain dipersilahkan untuk terus melanjutkan perjalanan dengan membawa serta panitia, relawan, dan perlengkapan untuk kegiatan esok hari. Benar saja, belum sampai di Sungai Malunda, satu kendaraan Hard Top Land Cruiser mengalami gangguan pada sistem bahan bakar dan terpaksa harus mengalami beberapa perbaikan. Saya berada dalam Mobil Jeep Cherokee milik Om Hamka, beriringan dengan Om Sunci dengan Hard Top birunya, Daeng Lili dengan Turbular, Ford Double Cabin Om Danil yang dikendarai Om Dedi, dan satu unit kendaraan Jimny Long bergerak lebih dulu meninggalkan Sungai Malunda.

Tepat sebelum maghrib rombongan pertama beristirahat di perbukitan kecil di tepi sawah jalan Poros Desa Bela. Kurang lebih setelah satu jam beristirahat untuk melepas lelah dan menyantap buras, menyeruput secangkir kopi panas, kami segera beranjak meninggalkan tempat tersebut untuk meneruskan perjalanan. Nyaris tanpa kendala berarti, tanpa kerusakan kendaraan kami bergerak ke arah timur ke Desa Kopeang melalui jalanan tanah liat yang licin dan sebagian berlumpur, beberapa kendaraan menggunakan winch pada selokan berbatu model V selebar 2 meter, sekitar pukul 21:00 kami tiba di lapangan SD di Desa Kopeang dan langsung membongkar semua perlengkapan untuk kegiatan keesokan harinya. 4 motor trail milik teman-teman Matrex sudah terparkir di dekat tiang bendera lapangan SD tersebut.

Tenda & hammock mulai kami pasang, dan sebagian driver langsung terlelap karena kelelahan. Malam pertama di Desa Kopeang adalah malam yang cukup gatal, karena kami tidur tanpa sempat membersihkan diri.

Semua orang sudah terlelap saat sekira pukul 02:00 Kapolsek Matangnga dengan Co Driver dr. Rocky tiba, saya hanya mendengar lamat-lamat saja suaranya. Saya hanya berpikir pasti yang lain memutuskan untuk bermalam di jalan karena malam sudah terlalu larut untuk meneruskan perjalanan. Hmm, saya tidak bisa membayangkan bagaimana usaha Kapolsek Matangnga Om Andi Rady menembus medan yang belum pernah Beliau lalui dengan navigator seorang dokter. Apapun, Beliau berdua berhasil tiba dengan selamat di lapangan SD.

Keesokan harinya, sekitar pukul 09:00 hampir semua kendaraan telah tiba di Lapangan SD. Saya, Om Sunci, & Om Hamka bergegas menjemput beberapa panitia dan relawan yang berjalan kaki dari Desa Bela karena kendaraan yang mereka tumpangi ternyata tidak bisa meneruskan perjalanan, total ada 4 kendaraan yang tidak dapat meneruskan perjalanan ke Kopeang.

Setelah penjemputan Panitia dan Relawan usai, Om Sunci & Daeng Lili masih harus kembali ke jalur Bela Kopeang untuk mengantarkan ban serep untuk mobil milik Tetta yang bannya kempes saat menarik Cherokee Om Hamka. Hari yang luar biasa di Sabtu, 23 November 2019 saat semua panitia dan relawan sudah langsung bisa memulai semua kegiatan yang dijadwalkan di hari pertama. Pemeriksaan kesehatan, kegiatan belajar siswa SD dan Kakak-Kakak Relawan, permainan, main flying fox, naik mobil off road keliling lapangan adalah kegiatan di hari itu. Malam hari ditutup dengan nonton bareng film inspiratif dari Panitia SIC #2.

Minggu, 24 November 2019 pagi hari, semua tenda telah terlipat dan dimasukkan ke mobil, perlengkapan dan ransum selama perjalanan selesai dipacking dan dibagikan di beberapa kendaraan. Usai berdoa, satu demi satu kendaraan mulai meninggalkan lapangan SD Bela di Desa Kopeang. Lambaian tangan seluruh Anggota Matrex, IOF PENGCAB Mamuju, MJF Polman, AOX, seluruh relawan dan panitia menjadi pemutus keramaian Desa Kopeang. Kami pulang, dan mereka kembali ke aktivitas normal seperti hari-hari sebelumnya. Tanpa diungkapkan, hati kami saling membawa kenangan, sakit buat kami karena tidak bisa tinggal lebih lama, sedih buat mereka karena kami tinggalkan terlalu cepat. Tapi kami sama-sama tahu bahwa 3 hari yang singkat telah meninggalkan bekas yang positif di hati anak-anak Kopeang, mereka telah melihat langsung seluruh relawan, mereka telah menemukan visualisasi dari tokoh dalam imajinasi impian masa depan mereka. Jadi Dokter, jadi Polisi, jadi Pengusaha, naik mobil, berbahagia… Hari yang ditutup dengan ganjil namun penuh syukur. Kami saling kehilangan.

Jeep Cherokee Om Hamka menjadi kendaraan terakhir yang melewati tanah basah berlumpur lorong utama Desa Kopeang. Perlahan iring-iringan kendaraan off road membelah kesunyian Desa Kopeang. Kami memilih jalur pulang yang sedikit berbeda untuk menghindari beberapa rintangan V arah Desa Bela. Beberapa kali kendaraan harus berhenti saat menunggu antrian kendaraan di depan, jalur yang kami lewati saat pulang ini adalah sebuah jalan rintisan yang lebih tinggi letak geografisnya ketimbang perjalanan saat datang. Jurang yang jauh lebih dalam terhampar di beberapa titik pada awal perjalanan pulang kami.

Total mobil off road yang beriringan adalah 9 unit dari yang seharusnya 13 unit. Ya, tentu saja sebagian dari kami harus duduk di atas atap kendaraan. Bukan pilihan aman, tapi kami harus pulang.

Perjalanan melintasi jalur baru dilalui dengan mulus tanpa kendala berarti. Sampai akhirnya, hujan mulai turun di siang hari ba’da dzuhur. Hard Top Biru Om Sunci dan Jeep Cherokee Om Hamka adalah kendaraan terakhir yang tiba di jalur bubur lumpur dengan halangan V paling dalam di Desa Bela. Setelah parkir di tanah lapang kanan jalan sebelum V ekstrem, kami yang duduk di atap berteduh di sebuah pondok kecil sambil bersenda gurau. Ada dr. Rocky, Andi Ayu Srikandi, Wahab, dan Dian. Kapolsek Matangnga beristirahat di jalur sambil berkaraoke di dalam kendaraan.

Jalur V ekstrem itu akhirnya usai kami lalui meski dengan atraksi terjun bebas dari roof rack Cherokee. Alhamdulillah, beberapa lebam tidak menyurutkan langkah kami untuk terus melanjutkan perjalanan pulang. Bagaimana sebenarnya kisah atraksi dari roof rack Cherokee itu? Mohon maaf, ini adalah sebuah kisah yang berbahaya, tidak sembarang orang boleh mendengarnya. Hahhahaa

Perjalanan melintasi Desa Bela berakhir pada saat jam menunjukkan pukul 7 malam. Terbentang medan tikungan tajam dan berbatu serta licin di hadapan. Sekitar 4 halangan V harus kami lalui malam itu juga jika ingin tiba di Mamuju tengah malam nanti.

Sungai Malunda semakin dekat, kabut mulai turun, lebah mulai tinggal di dalam kendaraan, saya duduk tenang di atas roof rack Cherokee dengan pakaian berlumpur dan basah, ehm, saya tetap sehat, karena saya ALIBE. hahaha

Tiba di pertigaan menjelang sungai Malunda, Mobil Kapolsek Matangnga parkir di jalur. Om Hamka sempat mengajukan usul untuk melewati jalur yang sedikit ekstrim namun lebih dekat. Saya katakan, “berarti kita pisah dari rombongan dong?”
“Enggaklah, kita ketemu lagi di depan situ kan?” Sahut Om Hamka.
“Tunggu ya, saya periksa dulu ada apa di bawah, kenapa kendaraan di depan tidak bergerak.” Kataku
“Ok, sip.” Om Hamka mengiyakan.
Lalu perlahan saya menuruni jalur curam itu, melewati mobil Pak Kapolsek Matangnga, Om Dedy, dan Grand Vitara. Mobil Om Dhandi terlihat melintang di jalur dan nyaris mengarah kembali ke Bela, sebuah posisi berbahaya untuk sebuah kendaraan di jalur licin dan curam seperti ini. Setelah kendaraan Om Dhandi selesai dikembalikan ke posisi menghadap jalan pulang saya bertanya ke beberapa teman, dan ternyata Mobil Om Dhandi sempat mengalami benturan keras karena diterjang turbular milik Daeng Lili di bagian kiri belakang. Sementara itu, turbular milik Daeng Lili berada di tepi jurang dengan posisi roda depan terperosok ke bibir jurang ratusan meter. Syukurlah ada sebuah batang pohon sebesar paha orang dewasa yang menahan. Turbular milik Daeng Lili mengalami gangguan pada sistem pengereman, meluncur pada jalur curam tanpa rem dan berhenti beberapa detik setelah menghantam Hard Top Om Dhandi. Tidak ada yang terluka, semua selamat, Alhamdulillah.

Malam itu kami akhirnya bermalam di tepi Sungai Malunda. Malam sudah semakin larut, stamina seluruh driver, navigator, dan relawan harus dipulihkan. Malam itu kami tidur dengan perasaan campur aduk, malam terakhir dengan sebatang Sampoerna yang tersisa dari bekal Adik Bungsu Daus JPeG.

Keesokan harinya, setelah membersihkan diri di Sungai Malunda kami bergerak pulang, ransum sudah mulai menipis, rokok sudah habis. Sekira 8 KM sebelum jalan Trans Sulawesi Mobil Om Dhandi tiba-tiba trouble, CDI bermasalah. Sambil menunggu perbaikan, peralatan memasak dan bahan makanan yang sudah menipis dikeluarkan untuk kami makan. Air minum sudah habis sejak kemarin sore, Daus mencari mata air dengan jerigen 5 liter di bagian tikungan sekitar 300 meter mengarah kembali ke Desa Bela. Mobil Om Dhandi harus membutuhkan suku cadang baru, ditemani Om Sunci, Om Dhandi ke Malunda. Dedy juga harus segera berangkat ke Mamuju untuk membantu Om Dhandi mendapatkan suku cadang.

4 Mobil tersisa, kami mulai memasang hammock dan menggelar matras untuk beristirahat. Sungguh hari yang berat, beberapa pengendara yang melintas kami senyumi dan kami tahan sambil bertanya, “ada rokok Pak?” “Iye ada”. Sahut mereka ramah. Dan tangan-tangan misterius mulai menyusul meminta rokok, sampai akhirnya pengendara motor memilih untuk menyerahkan sekalian dengan bungkusnya. Hehehe, kami jadi preman sholeh siang itu. Assen dan Bokor Mas menjadi primadona kami saat itu. Tidak ada motor lewat lagi, badan mulai lelah, kami tidur siang. Sekitar Jam 14:00 kami terbangun karena lapar.., Om Hamka mulai mengatur teman-teman agar mengumpulkan bahan makanan yang tersisa. Semua kotak perlengkapan dibuka, semua bagasi dibuka, hanya ada 3 energen dan 3 mie instant. Saya dapat rezeki kacang telur dari mobil Om Sunci. Rahang saya sampai lelah mengunyah kacang telur. Ransum tidak cukup… Hamar mulai berpikir untuk menebang pisang di tebing jurang, kami harus makan. No grab food, no food anymore, no signal, we all absolutely like a zombie.

Hening…

Suara motor meraung dari kejauhan, satu motor trail datang, oooh, Om Adi Matrex, Bro Anto, dan akhirnya belasan Motor Trail Matrex Mamuju memenuhi jalan tempat kami beristirahat. Mereka adalah malaikat yang Allah kirim untuk kami Siang itu. Dengan badan gemetaran, kami menyentuh makanan mewah yang mereka bawa. Nasi kotak, buras, ayam goreng, air mineral botol, dan Sampoerna Mild asli! 😃😃😃

Ya Tuhan..
Terima kasih untuk semua rezeki yang Engkau berikan melalui hamba-hambaMU yang berhati mulia ini.

Usai makan kami segera bergerak pulang, Om Hamka harus segera tiba di Mamuju, pembahasan RAPBD 2020 sudah dimulai sejak pagi tadi. 🤢🤢🤢

Dan, bagaimana soal Kopi yang terkenal di Kopeang itu? Tidak ada, hanya tersisa beberapa pohon, tahun 80-an sudah ditebang diganti tanaman Kakao. Satu hikmah yang saya dapat adalah, jangan terlalu percaya pada informasi yang tiba di telinga sebelum mata melihat faktanya. Kopi tak ada, tapi Cinta & Harapan Kopeang punya banyak.

Kela dai di Kopeang!!
Fery Jayanta – Tim IOF Pengcab Mamuju

Post a comment