
Namaku Dian, saya adalah salah satu volunteer Tim SIC yang berangkat ke Bela-Kopeang.
Jumat 22 Novemeber 2019 hari dimana saya dan tim volunteer SIC lainnya bertolak ke Desa Bela-Kopeang yang ada diKec.Tapalang.
Walaupun saya volunteer yang berasal dari Tapalang tapi sejujurnya saya tidak pernah menginjakkan kaki di Desa Bela-Kopeang.
Sehabis shalad Jumat diDesa Taan, starpun dimulai dengan suara knalpot jejeran mobil offroad yang menggertak kuping,
kami berangkat dengan Bismillah.
Baru kali ini saya nge-trip naik mobil offroad rasanya itu seperti main roller coaster pental sana penatal sini, gejedot sana gejedot sini, tapi happy, karna saya memang orangnya suka tantangan.
Sepanjang jalan banyak kendala yang kami temukan, ada beberapa angkutan kami yang bermasalah dijalan, ya maklum jalannya ndak semulus jalan arteri Mamuju, medannya ekstrim gilla, sampai sampai kami harus bersapa dengan gelap dihutan.
Hujan,nyamuk,lintah hutan,lebah hutan,gelap,kabut,dingin makanan seadanya ditambah dengan kaki penuh lumpur karna beberapa kali kami harus turun untuk sekadar meluruskan badan.
“kapanki ini sampe deh?, masih jauh a?”
Entah berapa kali kalimat ini keluar dari mulutku.
Kurang lebih sembilan jam kami baru tiba diDesa pertama, yaa Desa Bela.
Ada beberapa kendaraan yang mengangkut volunteer termasuk yang saya tumpangi memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan menginap di Bela karna kondisi alam malam yang tidak mengizinkan.
Keesokan paginya beberapa relawan memutuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dari Bela ke Kopeang.
Dan sayapun memutuskan melanjutkan perjalan dari Bela ke Kopeang dengan meminta tumpangan disalah satu penunggang motor trail, dan disitu nyawa saya kembali diadu.
“kak, bisaka dibonceng sampe kopeang?,
kalimat tawaranku pada pengendara motor tral.
“naik maki pegang keras tali tasku na, apapun yg terjadi percaya saja!” (sebut saja namanya kak anto, sipengendara motor trail)
Bummmmm.. Bummmmm….. Bummmm lumpur tanjakan kerikil, turunan licin dilewatinya dengan percaya diri.
“kak, ada banggi ini sertifikatta naik motor trail?” tanyaku dengan nada panik!
“sertifakat apaji dek, sertifikat menikahji yg ada!
“Sy ini tidak terlalu pintarka naik motor tral, modalku 0%skill 99%nekat!” (kak Anto)
Sesampainya saya diKopeang Desa kedua setelah Desa Bela, saya disambut hangat dengan lambaiyan tangan, tepuk tangan dari anak anak kopeang, masyarakatnya semua mereka sangat baik sama kami.
Dan disitu perasaan saya diadu lagi darah saya seketika mendidih sampai keubun ubun sesekali saya menghelai nafas saya coba untuk kontrol emosi, tapi percuma kaki saya gemetar seketika tangis saya peccahhh saya seddih, seddih sampai ter isak isak.
Saya sedih bukan karna tas pakaianku yang entah dimana. Tapi saya iri liat tawa anak anak kopeang bagaimana mungkin mereka bisa tertawa selapas itu dengan kondisi seadanya, kondisi jalanannya, kondisi lingkungannya bahkan jaringan smartphone pun tak ada. bahkan ada diantara mereka yang baru pertama kali liat mobil. Wwaaaah disitu saya nyesssakk skali.
Malamnya kami menggelar nobar dihalaman salah satu sekolah SD yang ada di Kopeang, disitu semuanya berkumpul sampai Desa sebrangpun datang dan kami tertawa bersama.
Kulihat tawa lepas dari bibir mereka menyaksikan filem yang kami suguhkan dengan kondisi lapangan yang becek karna habis disirami air hujan dan beralaskan bangku kayu yang rapuh, tapi tak mengurangi antusias penonton. Sungguh berbanding terbalik dengan caraku menikmati filem diruang ber Ac.
“yaaa Allah kurang bersyukur apa aku” bisikku dalam hati.
Minggu pagi kami beranjak meninggalkan Kopeang, sepanjang jalan kami selalu dihampiri dengan berbagai macam kendala karna faktor alam yang sangat tidak bersahabat kondisi jalan yang sangat licin karna memang selalu dibarengi dengan hujan.
Namaku Dian, dan hobbyku ndak bisa diam.
Diperjalanan pulang saya memutuskan keluar dari mobil dan memilih berada diatas mobil dengan duduk manis diatas tumpukan barang dangan tiga rekanku.
Tibalah kita disalah satu medan yang cukup ekstrim banyak armada yang kesulitan untuk melewatinya bahkan harus dibantu dengan tali sling. Saat itu hujan sangat deras saya dan tiga rekanku tetap memilih berada diatas mobil merek Cherokee buatan America
“Mas fery amanji ini a? Cehh dekusarra saman amanta baru lamme jaki” tuturku kepada sang navigator
“tenang aman pengang yang kuat maki saja dek, percaya!” jawab sangnavigator dgan modal sertikatnya.
Geenggggggggggggggg …….
Takk.. Takk… Takk..
Saya lupa bagaimana sehingga saya berada persis tepat berhadapan dengan ban jeep Cherokee karna kejadiannya sangat cepat.
yang kuingat sangNavigatorpun juga ikut terjun dan disusul satu temanku.
Karna kondisi alam yang tak mendukung hari mulai gelap diselimuti kabut tebal dan banyak kendaraan kami yang bermasalah, kelelahan para Driver jeep dan kami tidak mau mengambil resiko.
kamipun memutuskan menginap sehari lagi dijalan tepatnya dipinggiran sungai Taupe.
Disitu kami makan seadanya Indomie dua dinikmati sepuluh orang kami minum air dari air sungai yang keruh pakaian kering dibadan.
Keesokan harinya, dua armada duluan menuju kota karna ada alat yang musti dibeli diMamuju dan diantarkan kembali kehutan berhubung ada salah satu armada kami yang bermasalah.
Disitu jawa tengah dan tenggorokan kami seketika konser. Yang kami lakukan ya hanya tiduran dan sesekali buka mulut untuk menikmati aingin.
Bummmm bummmmm bummm….
“sepertinya akan ada secercah harapan” bisikku dlam hati!
Ya benar malaikat tak bersayap Matrex, dengan membawa box makanan ditambah dengan air mineral yang dingin. Waah Waah sekaliii!
Berbincang dan tertawa lepas dan hangat sebelum beranjak menuju kawasan yang dilengkapi dengan jaringan Smartphone.
.
.
“Bebagi adalah bentuk lain dari rasa bersyukur, berbagilah dengan sesama tanpa mengharapkan apapun”
Dian – Relawan SIC Bela Kopeang