
Desa Kopeang, tempat yang pada akhirnya aku tau kalau daerah tersebut adalah salah satu tempat pelarian warga Arralle pada tahun 2003 ketika adanya konflik ATM (Aralle, Tabulahan,dan Mambi) di Mamasa yang tragis bila aku ceritakan disini. Desa yang penduduknya menggunakan smartphone bukan sebagai alat komunikasi tapi dijadikan alat main game dan berfoto karena disana tidak ada jaringan seluler. Akan tetapi, hal itu bukan berarti disana ketinggalan informasi bahkan hal yang viral seperti lagu “entah apa yang merasukimu” pun warga disana tau. Aku tau itu karna waktu senam lagu itu yang digunakan dan semua anak-anak ikut menyanyikan lagu itu. Desa yang bahasanya sudah sedari kecil kudengar waktu bertumbuh di Bone Sulawesi Selatan, karena waktu tinggal di Bone orang yang membantu orang tuaku di rumah semuanya berbahasa seperti di tempat mamaku lahir dan di desa Kopeang ini lah aku bisa mendengar anak kecil berbahasa yang aku hanya bisa dengar tanpa bisa berucap waktuku kecil. Mamaku lahir dan menghabiskan waktu kecilnya di Aralle. Sejenak saat mengajar, aku berkhayal membayangkan mamaku pernah tinggal di tempat ini dan membayangkan warga kampung mamaku yang berjalan di tengah hutan untuk menyelamatkan diri di Desa Kopeang ini. Bersyukur bisa ketempat ini.
Selama mengikuti kegiatan Sharing is Caring oleh Mamuju Mengajar banyak hal yang tak sesuai dengan ekspektasi yang sudah aku rencanakan sebelum berangkat, tapi itu bukan suatu hal yang tidak baik tapi hal itu menjadi suatu kejutan dalam perjalanannya. Om Hamka dan Mas Feri adalah dua orang yang mengantarkanku, mereka adalah Anggota IOF dengan mobil cheroke buatan Amerika yang Om Hamka sering sekali sebutkan sepanjang perjalanan, diulang-ulangnya dengan bangga. Dan ada juga Ayu dan Jannah yang ikut numpang di Mobil yg sama denganku. Mereka adalah Relawan yang kita baru saling kenal di kegiatan ini. Seru, pastinya. Menegangkan, menggelikan dan sedikit rasa khawatir menjadi bumbu perjalanan. Klo jalanan sudah terlihat ekstream, “kasi slow Om Hamka, go…go…go…” seretak kata itu terucap dan teriakan semakin menjadi tatkala jalan terjal menurun hendak dilalui dan yang rencananya pulang hari Minggu eh jadi hari Senin karena banyak kendala yang terjadi pada kendaraan para Anggota IOF. Luar biasa bisa ikut merasakan perjalanan bersama IOF Pengda Sulbar ini, masing-masing saling membantu satu sama lain dan mengerti dengan kondisi mobilnya sehingga kendala demi kendala dapat di temukan solusinya saat itu juga terlebih sosok yang bernama Om Sunci beliau aku beri julukan sebagai dokter mobil Offroad. Ada juga cerita saat tim Matrex membawa makanan dikala rasa lapar menyerang, waktu itu hanya ada Sprite milik pak Kapolsek yang bisa ku minum bersama jannah, dian, kia dan astrid karena waktu itu kami memilih untuk menemani mobil Om Dandi yang alatnya harus diganti dan menunggu alat itu di beli dari Mamuju.
Minggu malam di tengah perjalanan pulang, kabut yang semakin menebal dan jalanan yang semakin tidak terlihat jadi untuk amannya kami memilih menginap ditengah hutan dipinggir sungai. Tapi sebelum kami sampai ke sungai ada sedikit cerita, Anggota IOF lainnya sudah duluan berangkat. Hanya Dua mobil yang memilih jaga jarak dengan mobil IOF lainnya yaitu Mobil Pak Kapolsek dan Mobil Om Hamka yang paling belakang. Tak tau apa yang terjadi dengan Mobil IOF lainnya di depan sana karena HT pun sudah tak berfungsi lagi karena baterainya sudah habis dan masih tak ada jaringan seluler. Penumpang dua mobil ini memutuskan untuk rehat sejenak sambil memasak makanan yang ada di mobil menggoreng telur, memasak mie, memakan nasi dan ikan kering yang masih tersisa. Sedangkan aku sama sekali tak berniat turun dari mobil dan juga tidak nafsu untuk makan yang ada di benakku hanya ingin tidur, merebahkan diri di dalam mobil dan itu yang kulalukan, aku hanya melihat teman yang lain melakukan aktivitas dari dalam mobil. Lampu didalam mobil semua dimatikan bahkan smartphoneku pun tak ingin ku nyalakan karena klo itu terjadi maka lebah atau tawon hutan akan masuk kedalam mobil yang bisa saja menggigit dan mengganggu istirahatku. Dari dalam mobil, aku juga mendengar suara para lebah yang ribut seperti orang yang lagi menggibah tetangga kampungnya tapi terlihat diatas pohon lebah itu menyalakan lampunya seperti bintang yang kedap-kedip dilangit, aku pandangi terus menerus sampai tak terasa mataku terlelap.
Sebelumnya, Sabtu pagi setelah perjalanan yang melelahkan semalam dari Mamuju ke Desa Kopeang. Pagiku di sambut oleh embun yang tebal dan segelas energen rasa vanilla dari kak Miny. Kia mengingatkan untuk segera bergegas ke SD untuk memulai kegiatan Mamuju Mengajar. Aku dan jannah pun berpakaian rapih menyiapkan diri untuk mengajar. Karena aku selalu bermasalah dengan alis maka jannah membantuku untuk merias alisku, ternyata jannah seorang MUA di Pasangkayu. Sampai di sekolah kami breafing menentukan di kelas mana kami akan mengajar dan hasil breafing aku bertukaran dengan Jannah untuk mengajar di kelas 1 dan kelas 2 bersama Pak Polisi bernama Lukman. Di kelas, pernahkah kamu mengajar tanpa minum selama 4 jam? Itulah yang ku alami dikelas, mengajar anak SD apalagi kelas 1 dan kelas 2 dengan suara yang harus kunaikkan lagi setengah oktaf membuatku harus pintar membagi waktu dengan pak Polisi untungnya beliau bisa diajak kerja sama dengan baik malah sebenarnya beliau lebih banyak bicara karena menjelaskan rambu-rambu lalu lintas sampai lencana yang terpasang di baju seragamnya. Tenggoranku sedikit terjaga.
Untuk menenangkan anak-anak ini kalo sudah susah untuk diatur aku pun membuatkan aba-aba, klo aku bilang “adek-adek” mereka membalasnya dengan suara lantang “siap, duduk, semangat!” maka dengan begitu meraka langsung kembali duduk dengan tenang. Sebelum kelas mengajar berakhir Mamuju Mengajar memberikan sumbangan Buku tulis yang waktu itu di bawa oleh Kak Hadi dan Kak Puje ke kelas tempatku Mengajar kemudian Kak Adi datang bilang klo Mamuju Mengajar ada Slogan seperti ini “Mamuju Mengajar” dibalas dengan “Berbakti, Mengabdi, Abadi” dengan gerakannya. Seandainya aku tau dari awal mungkin sudah kuajarkan dari pas masuk materi mengajar. Sudahlah, aku tidak cekatan untuk mengetahui hal itu. Siang hari setelah mengajar ada kegiatan pemeriksaan kesehatan, ini juga program dari SIC Mamuju Mengajar. Sementara program tersebut berlangsung dan kegiatan Mengajar dikelas sudah selesai, aku dan Jannah ikut bergabung dalam kegiatan ini dengan mencatat nama, berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang pasien yang di ukur oleh Oka menggantikan kak Miny yang sedari tadi melakukan hal itu. Kegiatan ini berlangsung sampai sekitar jam 3 sore sedangkan yang lainnya bermain di tengah lapangan bersama anak-anak warga desa Kopeang. Setelah itu kami duduk-duduk di depan kelas sambil bercerita satu sama lain karena kami pun beberapa orang tak saling mengenal, tiba-tiba Rahmat keluar membawakan kopi tenyata didalam kelas tempat kami duduk-duduk itu adalah tempat para laki-laki tim mamuju mengajar tidur dan didalamnya tersedia kompor, gula, kopi, teh dan krimer kental manis. Jadilah warung kopi SD BELA yang baristanya itu adalah Rahmat. Aku pesan teh susu alias teh campur krimer kental manis. Kapan lagi ya kan minum teh tanpa harus buat sendiri yang sedari kemarin malam di dapur terus menunggu yang lain datang, menunggu masaknya nasi, menunggu kepastian breafing dan menemani orang yang belum makan eh curcol. Rasanya tehnya, jangan ditanya “Endul” klo kata orang-orang. Menyeruput teh hangat buatan Rahmat sambil melepaskan rasa letih dan shock dengan perjalanan yang dilalui kemarin. Dengan terasanya kegiatan dari pagi sampai sore hari tadi, malam hari pun tiba di sambut hujan deras, karena setelah minum teh aku sempatkan ke sungai yang letaknya tidak terlalu jauh di belakang sekolah SD BELA bersama Jannah dan beberapa anggota IOF lainya setelah itu aku kembali duduk-duduk di sekolah. Tiba- tiba hujan deras, rencananya pergi ke dapur tapi tak ingin basah terkena hujan apalagi sudah magrib pakaiannya mau dipakai sholat, dapur tempat kami masak jaraknya kalau di tempuh dari sekolah tanpa payung dan jas hujan akan membuatku basah kuyup. Sembari menunggu hujan meredah aku pesan teh lagi tanpa krimer karena krimernya sudah habis jadinya teh campur gula, teh manis. Kapan lagi ya kan minum teh tanpa harus buat sendiri yang sedari kemarin malam di dapur terus menunggu yang lain datang, menunggu nasi masak, menunggu kepastian breafing, menemani orang yang belum makan dan menunggu sesuatu yang tak pasti eh curcolnya bertambah. Rasanya tehnya, jangan ditanya tetap “Endul” klo kata orang-orang, sedikit menghangatkan suasana dinginnya hujan malam hari. Di kelas sebelah, aku liat yang lainya sibuk memikirkan mau nobar dimana, di lapangan sudah tidak bisa digunakan karena masih hujan deras.
Waktu magrib hampir habis dan hujan masih deras, aku pun berinisiatif untuk mencari apa saja yang bisa digunakan melindungi kepala dari hujan untuk kerumah warga yang jaraknya sekitar sepuluh langkah dari SD BELA, tempat para perawat menginap. Jaket kak Hamar lah yang menjadi solusinya. Setelah kembali lagi ke sekolah untuk mengikuti kegiatan selanjutnya, hujan sudah meredah jadi lapangan sudah bisa digunakan untuk kegitan nobar. Filmmya, mungkin aku sama dengan warga Kopeang bahwa ini pertama kalinya menonton film tersebut. Judulnya Cita-Citaku Setinggi Tanah, sejujurnya aku kurang yakin anak-anak warga Kopeang akan mengerti dengan film itu karena harus membaca dengan cepat translate dari 80% bahasa jogja yang digunakan di film itu, akan tetapi sepanjang pemutaran film aku melihatnya mereka terhibur. Disela-sela pemutan film kami dihibur oleh siswa-siswi yang sudah kami ajar, ada paduan suara, qasidah dan ada juga yang menari, sungguh sangat membuatku terhibur dan yang lainpun ikut menyanyi bersama dengan suara yang lantang apalagi pas lagu Perdamaian semuanya kompak teriak bilang “Bingung… bingung… ku memikirnya…”, Mungkin bingung besok pulangnya seperti apa. Hahaha. Semua larut dalam keseruan malam itu.
Usai sudah semua kegiatan hari itu, Saatnya Evaluasi. Banyak kesalahan yang terungkap dan hal yang paling tak terduga ternyata ketua kegiatan SIC Mamuju Mengajar ini tak ada ditegah-tengah kita, sangat disayangkan.
Kemudian salah satu alasan aku mengikuti kegiatan ini karena memilih menjadi Perempuan berdaya. Masih belum puas rasanya untuk menceritakan detail-detail kejadian yang menakjubkan dalam cerita ini. Tapi ini cukup untuk menggambarkan “Alunan kisahku di kopeang bersama MAMUJU MENGAJAR”. Terima Kasih Untuk semua Tim Mamuju Mengajar yang hadir dan memperbolehkanku untuk menikmati kegiatan SIC Mamuju Mengajar Bela-Kopeang ini, Terimakasih juga untuk Anggota IOF yang telah memberikan pengalaman tersendiri mengantarkanku Ke Desa Kopeang, Terimakasih untuk tim Matrex yang memadamkan kelaparaku Dan tak lupa Terimakasih untuk para teman relawanku atas kerjasama yang menyenangkan ini. Cerita ini sudah aku sampaikan Ke keponakanku dan akan ku ceritakan sampai ke cucuku kelak.
“Mamuju Mengajar! Berbakti, Mengabdi, Abadi”
Amira Meyansari – Relawan SIC Bela Kopeang